Masuk dan
berkembangnya Islam di Madura tidak bisa dilepaskan dari peranan penyebaran
agama Islam di Jawa Timur, yakni di
Gresik dan Surabaya.
Kota-kota tersebut dikenal sebagai kota pantai yang ramai
kegiatan perdagangannya. Para pedagang dari kota-kota pantai itulah yang
menyebarkan Islam sampai ke kota-kota lainnya di sepanjang pantai utara Jawa
Timur seperti Tuban, Sedayu, Pasuruan, Besuki, Probolinggo bahkan menyeberang
ke Madura yaitu Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Persebaran agama Islam di
Madura, selain melalui jalur perdagangan, juga tidak terlepas dari peranan para
wali yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri yang mengutus murid-muridnya ke
Madura.
Islam pertama-tama disebarkan di pantai selatan kota Sumenep pada
sekitar abad ke-15 M.
Keyakinan akan kepercayaan baru tersebut mulanya
disebarkan di daerah pesisir pantai yang merupakan tempat perdagangan. Sumenep
merupakan kawasan perdagangan yang paling ramai di Madura. Oleh karena itu, di
sini Islam tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan daerah Madura bagian barat
dan Pamekasan.
Selain melalui perdagangan, saluran Islamisasi di Sumenep juga
melalui jalur santri, pondok pesantren, pengaruh penguasa setempat dan dengan
jalan perkawinan baik perkawinan dengan penguasa lokal, atau dengan perkawinan
dengan keluarga pemuka agama. Pada pemerintahan Joko Tole ada seorang penyiar
agama Islam bernama Sunan Padusan yang menyebarkan agama Islam dan mendirikan
pondok pesantren di Parsanga.
Banyak
penduduk sekitar pesantren yang tertarik dengan cara berdakwah dan pendekatan
Sunan Padusan akhirnya memeluk agama Islam. Keberadaan Sunan Padusan dan pondok
pesantrennya yang terkenal sampai di pusat keraton (Banasareh) membuat JokoTole, penguasa Sumenep pada masa itu, tertarik dengan agama Islam. Kemudian
Sunan Padusan berhasil mengislamkan Joko Tole dan menjadi menantunya, hal ini
menyebabkan semakin banyak rakyat Sumenep yang menganut agama Islam, agama yang
dianut oleh raja mereka.
Pada masa pemerintahan
JokoTole inilah agama Islam mulai masuk ke Sumenep. Pada masa ini juga
diberitakan adanya kontak pertama Sumenep dengan bangsa Cina. Tetapi tidak ada
bukti-bukti tertulis atau arkeologis yang mendukung keterangan tentang kontak
dengan bangsa Cina ini.
Pada abad
ke-17, di Sumenep terdapat seorang tokoh persebaran agama Islam yang lain
bernama Pangeran Katandur. Keturunannya banyak yang berhasil mengislamkan
penduduk Madura. Salah satu keturunannya adalah Bendoro Saud yang menjadi
penguasa Sumenep dari tahun 1750-1762 karena menikahi R.A Tirtonegoro, penguasa
Sumenep pada masa itu. Pada abad ke-18 proses Islamisasi di Sumenep semakin
meluas ketika diperintah oleh putra Bendoro Saud yang bernama Panembahan
Sumolo. Ia membangun keraton Sumenep dan Masjid Jamik.
Masuk dan
berkembangnya agama Islam di Sumenep diketahui dari data-data sejarah yang
didapat dari bukti-bukti arkeologis. Bukti-bukti tertua tentang keberadaan
Islam yang masih ada di Sumenep antara lain adalah masjid lama di Kepanjen yang
didirikan pada tahun 1639 M oleh pangeran Anggadipa dan makam Pangeran Pulang
Jiwa yang berangka tahun 1678 M yang terdapat di Asta Tinggi
Mengenai
pelaksanaan kekuasaan, VOC mengadopsi cara-cara yang digunakan ketika Sumenep
di bawah pemerintahan Majapahit. Para regen harus pergi ke Batavia atau
Semarang setahun sekali untuk menyembah pada gubernur jenderal atau wakil
lainnya dari penguasa Belanda. Selain itu, VOC meneruskan pemungutan pajak
impor dan ekspor. Raja boleh menerima pajak dari bandar pabean di pulau-pulau
kecil sepanjang pantai selatan dan di sebelah timur, di samping juga semua
pajak yang secara tradisional dipungut di Sumenep. Di atas itu semua, VOC
mengenakan satu jenis pajak baru yakni kontingen. Kontingen ini merupakan
pengadaan setiap tahun hasil panenan tanaman di daerah itu untuk dikirimkan
oleh para regen. Ini merupakan beban yang sangat berat bagi penduduk setempat.
Regen harus mengirimkan kontingen ke Jawa sebelum bulan November dengan
perahunya dan biaya sendiri. Belanda tidak ikut campur tangan dalam hal cara
bagaimana regen mengumpulkan kontingen yang diminta itu.
Di antara
seluruh kabupaten yang berada di bawah gubernur Belanda untuk pantai timur
laut, hanya kerajaan di Madura yang harus mengirimkan kacang-kacangan dan
minyak kelapa. Di tempat-tempat lain, pengiriman beras, kapas dan kayu adalah
penting. Sumenep seringkali harus mengirimkan garam dan asam Jawa juga.
Barang-barang yang dikirimkan tergantung pada permintaan dan kadang-kadang
penduduk bisa juga membayar sebagian dari pajak ini dengan uang. Sering terjadi
VOC meminta tambahan penyediaan barang-barang tertentu dengan harga rendah yang
ditentukannya sendiri. Ini adalah yang disebut sebagai pengiriman paksa.
1. Bidang
politik
VOC
mengangkat RA Tirtonegoro (1750—1762) menjadi Bupati Sumenep. Sejak
beridirinya, VOC telah selalu membuat perjanjian dengan pemimpin-pemipin
setempat yang mempunyai urusan dengannya untuk menghindari salah paham. Semua
kerajaan dan daerah yang telah ditaklukkan diberi pemerintahan sendiri (self
government), sebuah istilah halus untuk suatu bentuk pemerintahan tidak
langsung, di mana penguasa-penguasa setempat memperoleh tingkat kebebasan
bertindak yang layak di wilayah mereka, dengan syarat-syarat yang ditentukan
oleh si penjajah
RA
Tirtonegoro menikah dengan Bendoro Saud yang kemudian diangkat mnjadi bupati
menggantikan RA Tirtonegoro. Karena pernikahannya dengan Bendoro Saud tidak
mendapat keturunan, maka RA Tirtonegoro mengangkat dua orang putera Bendoro
Saud dari pernikahan sebelumnya dengan Nyai Isza yaitu Ario Pacinan dan
Asirudin. Asirudin yang dikenal dengan nama Panembahan Sumolo atau Pangeran
Notokusumo I (1762—1811) diangkat oleh VOC mengagantikan Bendoro Saud menjadi
Bupati Sumenep. Ia membangun keraton Sumenep dan Masjid Jamik.
Pada masa
pemerintahan panembahan Sumolo, Sumenep membantu VOC dengan mengirimkan pasukan
dalam penyerangan ke Blambangan. Setelah Blambangan dapat ditaklukkan, Sumenep
diberi hadiah daerah Panarukan oleh VOC. Panembahan Notokusumo ini dikenal oleh
masyarakatnya sebagai orang yang arif sehingga masyarakat menyukainya.
Pada tahun
1810, Panembahan Sumolo diminta datang oleh kompeni ke Semarang untuk ikut
serta menjaga daerah pesisiran berhubungan dengan timbulnya peperangan antara
Belanda dan Inggris. Sewaktu Panembahan Sumolo tidak ada di Sumenep, tentara
Inggris menyerang dari lautan dengan kapal perangnya yang mempergunakan
meriam-meriam sampai di pantai Saroka. Karena Panembahan Sumolo tidak ada di
tempat, maka Patih Sumenep yaitu Kiyai Mangundiredjo mengambil keputusan untuk
melawan serangan Inggris dan bersama anaknya ke pantai Saroka yang disertai
pula oleh pasukan tentara kerajaan Sumenep. Dalam pertempuran itu, Patih
Mangundiredjo beserta anaknya gugur, demikian pula banyak anggota-anggota
pasukan yang gugur di dalam peperangan itu. Mendengar kabar tersebut,
Panembahan Sumolo sangat sedih, dan ketika ia sampai di Pantai Saroka ternyata
tentara Inggris sudah meninggalkan medan pertempuran dan mereka sudah pergi
berlayar meninggalkan perairan Sumenep.
2. Bidang
kebudayaan
Hasil
kebudayaan yang tercipta semasa pemerintahan Panembahan Sumolo atau Natakusomo
I adalah Masjid Jamik dan Keraton Sumenep. Masjid Jamik Sumenep terletak di
jalan Trunojoyo No. 6 yang termasuk wilayah kelurahan Bangselok, kecamatan kota
kabupaten Sumenep, propinsi Jawa Timur. Masjid ini merupakan kompleks bangunan
yang menempati tanah berukuran 89x89m. Selain bangunan induk, di dalam kompleks
ini terdapat bangunan lain yaitu menara, gapura, serambi, bangunan sudut tembok
keliling, pendopo, bencet, kantor takmir, tempat wudhu dan toilet.
Kompleks
bangunan masjid ini memperoleh pengaruh seni bangunan dan ragam hias dari
Eropa, Cina, dan lokal. Masjid ini dibangun atas karya seorang warga Cina.
Terjadinya pemberontakan orang-orang Cina di Batavia mengakibatkan banyak orang
Cina yang ditangkap atau dibunuh oleh tentara VOC. Dengan adanya penangkapan
itu, orang-orang Cina melarikan diri ke kota-kota lain di Pulau Jawa.
Pada masa
pemerintahan RA Tirtonegoro, datanglah 6 orang Cina ke Sumenep. Mereka adalah
sisa pelarian dari Batavia. Salah seorang dari mereka bernama Lauw Koen Thing
atau sering disebut Leo Kate. Ia seorang ahli bangunan. Ia menurunkan
keahliannya kepada cucunya yang bernama Lauw Pia Ngo. Kemudian ia diberi
kepercayaan oleh Panembahan Sumolo untuk membangun keraton Sumenep dan Masjid
Jamik Sumenep. Atas jasanya itu, ia diberi tanah perdikan di pejagalan Sumenep
yang kemudian dibangun rumah untuk keluarganya.
Kompleks
bangunan keraton Sumenep terletak membujur dari selatan ke utara dan didirikan
di atas tanah seluas lebih kurang 28.000 meter persegi. Keraton Sumenep sendiri
menghadap ke arah selatan. Keraton ini terletak di sebelah timur dari alun-alun
pusat kota Sumenep sehingga tampak lurus berseberangan dengan masjid jamik.
Dulunya memang ada jalan lurus yang menghubungkan antara masjid dengan keraton,
namun sekarang sudah tidak ada lagi sebab alun-alun sudah menjadi taman bunga.
Kesimpulan
Pulau Madura,
sebagai daerah yang dikelilingi oleh wilayah perairan nusantara di Timur pulau
Jawa, merupakan salah satu pulau yang menjadi incaran VOC. Tujuan VOC menguasai
Sumenep adalah untuk menjadikannya sebagai pangkalan untuk menguasai
pelabuhan-pelabuhan lainnya di timur Jawa.
Mengenai
islamisasi, Madura sudah berkenalan dengan agama Islam sejak lama. Pulau ini
mengadakan hubungan yang erat dengan Gresik dan Surabaya, tempat para pemimpin
Islam yaitu Sunan Giri dan Ampel bermukim. Usaha pengislaman mengalami
peningkatan yang pesat setelah Madura pada paruh kedua abad ke-16 berada di
dalam daerah pengaruh kantong perdagangan Surabaya.
Sumenep
adalah salah satu kabupaten di pulau Madura. Sumenep selalu mempunyai
penguasa-penguasanya sendiri. Secara bertahap, penguasa-penguasa ini menjadi
para bupati selain sebagai penguasa kerajaan. Ada tahun 1624, Sultan Agung dari
Mataram menaklukan pula Madura dan tiga daerah kabupatennya. Setelah kekuasaan
Mataram berakhir di Madura, kekuasaan selanjutnya berada di tangan VOC. Keadaan
yang terjadi ketika kekuasaan Madura berada di tangan VOC adalah rakyat
dibebani oleh berbagai pajak. Keadaan inilah yang menyebabkan rakyat Madura
semakin sengsara.
Panembahan
Sumolo atau Pangeran Notokusumo I (1762—1811) diangkat oleh VOC mengagantikan
Bendoro Saud menjadi Bupati Sumenep. Ia dikenal oleh rakyatnya sebagai pemimpin
yang arif. Keberhasilan yang terwujud ketika Sumenep berada di bawah
pemerintahannya adalah didirikannya keraton Sumenep dan Masjid Jamik sebagai
pusat kebudayaan Sumenep.
Islam masuk ke madura jauh sebelum walisanga. Sama seperti daerah lain di jawa. Ada banyak bukti sejarah (bukan sekedar catatan sejarah) yang menyatakan, islam masuk jawa dan madura sebelum runtuhnya majapahit. Di jawa timur, misalnha, ada makam fatimah binti maimun di gresik, makam troloyo (makam kencono wungu) yang bercorak islam, dll. Di madura sendiri, masuknya islam diperkirakan sejak abat 13 masehi atau sekitar tahun 1200-an akhir. Dibuktikan dengan nama kecamatan pasean yang menjadi persinggahan orang2 samudera pasai yang sudah menjadi kerajaan muslim dan ini berkaitan sekali dengan penemuan makam kuno di panaongan sumenep. Selain itu di pamekasan terdapat makam empu keleng, seorang empu era majapahit awal, yang jelas makam muslim. beberapa bukti lain juga sangat banyak yang membuktikan islam masuk di madura, sebelum wali sanga. Era walisanga merupakan era islamisasi, melalui jalur dakwah kekuasaan dan mengiriman dai. Jadi perlu dibedakan antara masuknya islam dengan proses islamisasi.
BalasHapusAlhamdulillah nambah ilmu
BalasHapus